Menemukan buku untuk dibaca itu seperti
menemukan pacar. Pertama-tama dilihat-lihat dulu dengan seksama, kalau
cover-nya oke, baru deh dideketin. Bedanya, setelah ngerasa oke dengan
pandangan pertama, bagian belakang bukunya bisa dipegang. Lah kalo nyari pacar
dengan cara seperti itu (langsung pegang belakangnya) bisa ditabok kiri-kanan
lah! Selanjutnya bisa ditebak, menemukan buku untuk dibaca berarti membaca
lembaran demi lembaran pertamanya, kalau kita tertarik dengan paragraf
pertamanya, kita akan baca lembaran berikut dan berikutnya dan berikutnya.
Menemukan pacar, juga seperti itu. Kita
pergi keluar pertama dengan sang gebetan, duduk berdua di sebuah restoran atau
cafe yang nyaman, berusaha saling membuka lembaran masing-masing. Membedah mereka
seperti buku: narasi seperti apa yang mereka katakan (penuh nostalgia kah, atau
sekadar memaparkan pengalaman), apakah diksi yang mereka pakai menarik (kasar
kah, atau justru sangat sopan), apakah gaya tubuh mereka cocok, dan yang paling
penting: nantinya, tahankah saya “membaca” dia untuk waktu yang sangaaaaaaaaaaaaat
lama.
Setelah semua cocok, baru masuk ke
jenjang yang lebih mantep: pacaran.
Gue sering ngerasa emotionally attached
dengan sebuah buku, kangen kalau ngga ngebaca tuh buku setelah waktu yang cukup
lama. Ngerasa sayang, sampai-sampai kalau orang mau pinjem gue bakalan dengan
galak teriak “engga boleh!”. Perjalanan panjang untuk jatuh cinta
dengan sebuah buku, setelah dipikir-pikir cukup sama dengan merasa nyaman
dengan pacar kita masing-masing.
Namun, pacaran dengan orang yang tepat
punya satu kriteria khusus: sanggupkah kita, setelah membaca lembaran demi
lembaran hidup masing-masing, tumbuh tua bareng, dan pada akhirnya ketika
ketemu hanya bisa diam karena tidak ada lagi yang bisa diceritakan.. sanggupkah
kita berdua untuk gandengan tangan saja dan berada dalam suasana sunyi yang
penuh kenyamanan.
Sanggupkah?
Pertanyaan itu tidak bisa dijawab
dengan jawaban simpel seperti: “Kalau gak mampu, cari aja yang baru”. Tapi
untuk direnungkan, dipikirkan, dan pada akhirnya berkata, “Oh”, bagaimana kalau
kita tulis kisah kita berdua sendiri. Cerita dari hasil pemahaman kita atas
diri masing-masing, dan ekspektasi atas apa yang mungkin nanti terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar