Senin, 13 Agustus 2012

Kematian, menurut allen

Pernah mikirin dan takut gak kalau suatu saat orangtua kita bisa meninggal? Kadang gue ngerasa pengen mati muda, you know, biar gue gak usah ngeliat mereka-semua orang yang gue sayangin- meninggal.
Ya, kematian ngebuat gue ngerasa gak nyaman. Adeknya salah satu temen gue meninggal kemaren. Dia masih duduk di bangku SD. You see, hal-hal mengejutkan seperti ini ngebuat gue ngerasa bahwa semua yang kita punya sekarang ini bisa aja diambil. Seolah-olah benang yang nyambungin idup kita bisa dipotong begitu aja. Lalu ilang. Gak ada lagi. Nothing matters.
Gue jadi inget, seorang filsuf Amerika, Mark Conard, pernah menulis esai God, Suicide, and the Meaning of Life yang membedah film-film Woody Allen dan hubungannya tentang hidup. Nah, dalam esai itu, dengan menggunakan cerita film Shadows and Fog-nya Woody Allen sebagai alat bantu, Mark Conrad mengatakan, “Kita butuh distraction, kita butuh ilusi dan penipuan-diri, untuk menghindarkan kita terhadap “kenyataan menyakitkan dari hidup”. Kenyataan, bahwa apa yang kita punya sekarang hanyalah sementara. Engga ada kekal, engga ada yang selamanya.”
Memang, ilusi-ilusi kesenangan yang kita ciptakan ini: jatuh cinta, bekerja di bidang yang disukai, nonton film, marathon DVD sampai pagi, makan sampai kekenyangan, bisa membantu kita dalam menghadapi kenyataan paling pahit dalam hidup.. kita bisa aja tiba-tiba mati.
Balik ke Woody Allen, karakter-karakter dalam filmnya, walaupun mereka selalu takut dan insecure atas kematian, karakter-karakter ini menanggapinya dengan biasa: mereka semua seolah-olah hidup bahagia, terlepas dari semua chaos, kekosongan, dan kedinginan alam semesta yang mereka alami. Mereka bisa berinvestasi dalam kehidupan individual masing-masing dengan menggunakan nilai-nilai dan pemahaman sebuah relationship sebagai sarana untuk itu.
That’s what I love from Woody Allen. Dia selalu bisa menghadirkan humor kontemplatif yang memberitahu bahwa ketawa aja gak cukup, tapi kita butuh pemahaman. Atau seperti kata Socrates, “An unexamined life is a life not worth living.” Sebuah hidup tanpa pemahaman, adalah hidup yang tak layak untuk dijalani. Sedangkan, humor yang bagus, menurut gue, adalah humor yang membuat kita berpikir, and that’s what Allen do best.
Lanjut, seperti tokoh Ben yang religius dalam film Crimes-nya Woody Allen, kita juga mempunyai Tuhan untuk bersandar, dan menjadi sarana untuk menjalani hal-hal keras dalam hidup. Berhubungan dengan Tuhan, bulan Ramadhan, dan kematian; setidaknya kita saat ini bisa “nabung” pahala. Setidaknya, ketika kematian itu datang dan membawa kita pergi ke alam lain itu, kita bisa berada di tempat yang lebih baik. Tempat yang engga cuman ilusi, tapi kekekalan penuh rasa senang, dan kebanggaan karena kita bisa menaklukan hidup, dan pada akhirnya.. end up eternally happy.

Pacar

Menemukan buku untuk dibaca itu seperti menemukan pacar. Pertama-tama dilihat-lihat dulu dengan seksama, kalau cover-nya oke, baru deh dideketin. Bedanya, setelah ngerasa oke dengan pandangan pertama, bagian belakang bukunya bisa dipegang. Lah kalo nyari pacar dengan cara seperti itu (langsung pegang belakangnya) bisa ditabok kiri-kanan lah! Selanjutnya bisa ditebak, menemukan buku untuk dibaca berarti membaca lembaran demi lembaran pertamanya, kalau kita tertarik dengan paragraf pertamanya, kita akan baca lembaran berikut dan berikutnya dan berikutnya.
Menemukan pacar, juga seperti itu. Kita pergi keluar pertama dengan sang gebetan, duduk berdua di sebuah restoran atau cafe yang nyaman, berusaha saling membuka lembaran masing-masing. Membedah mereka seperti buku: narasi seperti apa yang mereka katakan (penuh nostalgia kah, atau sekadar memaparkan pengalaman), apakah diksi yang mereka pakai menarik (kasar kah, atau justru sangat sopan), apakah gaya tubuh mereka cocok, dan yang paling penting: nantinya, tahankah saya “membaca” dia untuk waktu yang sangaaaaaaaaaaaaat lama.
Setelah semua cocok, baru masuk ke jenjang yang lebih mantep: pacaran.
Gue sering ngerasa emotionally attached dengan sebuah buku, kangen kalau ngga ngebaca tuh buku setelah waktu yang cukup lama. Ngerasa sayang, sampai-sampai kalau orang mau pinjem gue bakalan dengan galak teriak “engga boleh!”. Perjalanan panjang untuk jatuh cinta dengan sebuah buku, setelah dipikir-pikir cukup sama dengan merasa nyaman dengan pacar kita masing-masing.
Namun, pacaran dengan orang yang tepat punya satu kriteria khusus: sanggupkah kita, setelah membaca lembaran demi lembaran hidup masing-masing, tumbuh tua bareng, dan pada akhirnya ketika ketemu hanya bisa diam karena tidak ada lagi yang bisa diceritakan.. sanggupkah kita berdua untuk gandengan tangan saja dan berada dalam suasana sunyi yang penuh kenyamanan.
Sanggupkah?
Pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan jawaban simpel seperti: “Kalau gak mampu, cari aja yang baru”. Tapi untuk direnungkan, dipikirkan, dan pada akhirnya berkata, “Oh”, bagaimana kalau kita tulis kisah kita berdua sendiri. Cerita dari hasil pemahaman kita atas diri masing-masing, dan ekspektasi atas apa yang mungkin nanti terjadi.

Tentang sesuatu itu yang bernama "HUJAN"

Sekarang sudah hampir akhir tahun,

Biasanya kalo akhir tahun bakalan bersua dengan musim hujan.
Ah, musim hujan. Aku selalu suka hujan. Ada romantisme tersendiri dari hujan, entah kenapa, mungkin datang dari percampuran antara cemas menemukan tempat berteduh, pengharapan melihat pelangi pas hujan selesai, dan merenung sendiri dari balik kaca yang berembun. Hujan membawa itu semua: cemas, harap, dan perenungan.

Aku suka hujan. Aku suka melihat hujan dari dalam mobil sambil melamun, melihat jalanan melalui kaca yang dipenuhi oleh titik-titik air. Lalu terhempaskan dengan wiper, yang tentu saja percuma, hanya untuk melihatnya basah kembali: setitik demi setitik demi setitik demi setitik… hingga wiper menghapusnya lagi..dan lagi. Lalu aku menyetel radio, aku bernyanyi sumbang, yang tersamarkan oleh bunyi kaca yang ditempa air. Aku suka tidak bisa mendengar suaraku sendiri. Aku suka dibungkam tanpa sengaja.
Aku suka hujan. Terutama aku suka bau air yang bercampur dengan tanah, bau lumpur samar itu. Aku selalu menciumnya dengan brutal, menghirup dalam-dalam dan menahan napas, supaya tidak terlupakan oleh bau yang lain. Aku ingat, sewaktu masih kecil, aku selalu suka menari di bawah hujan, teriak bersama teman-teman dan mengecap rasa asin yang mampir di bibir. Dan ketika keesokannya harinya meriang? Aku gak peduli. 
Tapi aku selalu takut dengan badai. Dengan kemampuannya untuk merusak, menghancurkan yang telah ada. Menyapu bersih apa yang pernah aku bangun. Menelan semuanya dalam satu kali jentikan jari, atau kurang. Badai dengan angin kencang, petir nyaring, dan kilatan yang menyilaukan mata. Badai bisa membuat orang hilang. Badai bisa membuat orang bimbang. Badai bisa, menyesatkan.
Dan ketika badai semacam itu datang,
yang diperlukan hanyalah keberanian untuk menari di bawah hujan.
Hei, kamu. Pegang tanganku.
Kita menari bersama. Ya?
SIAL! ini efek dari kebanyakan mengkonsumsi kopi..
 
Planxtons © 2011 Templates | uzanc